Tulisan
ini kutulis di tegah malam tepat pukul 23.00 WIB dihari keenamku di desa ini.
Di luar sana, sinar bulan purnama menghampar terang juga tak ketinggalan kerlingan
bintang-gemintang. Suara jangkrik saut menyaut, angin berhembus dari segala penjuru,
masyarakat tampaknya sudah tak ada lagi yang beraktifitas diluar rumah,
lantaran dingin yang sangat tidak wajar. Saking dinginnya desa ini, aku sering
menyebutnya sebagai dingin yang “tak terdidik”. Bagaimana tidak, seumur hidupku
barulah kali ini aku merasakan daerah dengan derajat suhu sedingin ini. Di tanah
Jawa, orang-orang mengenal Banjarnegara atau Dieng sebagai daerah dengan keganasan
dingin yang luar biasa. Tapi sungguh, kedinginan desaku ini telah melupakanku
pada Banjarnegara, Dieng atau daerah manapun yang pernah membuatku menggigil,
karena memang betul-betul sudah membabi buta. Oh Tuhan, padahal aku paling tak
kuat dengan makhluk yang bernama dingin.
Desa ini
bernama Danau Gerak, kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, kurang
lebih memakan waktu 10 jam perjalanan darat dari Ibukota provinsi Sumatra Selatan,
Palembang. Desa ini merupakan desa binaan baru yang dipilih yayasanku Indonesia
Mengajar sebagai penempatan salah satu Pengajar Mudanya. Sekeliling desa
merupakan perbukitan dan dilewati jalur bukit barisan Sumatra yang memanjang dari
provinsi Lampung hingga Aceh. Disebelah barat, desa ini langsung berbatasan
dengan provinsi Bengkulu.
Mayoritas
masyarakat disini bertani kopi, padi dan sayur mayur. Jika pagi tiba, mereka berbondong
ke ladang dan sawah sedangkan anak-anak berangkat mengaji lalu bersekolah.
Walau dingin, tak menjadikan alasan bagi mereka untuk tetap melakukan rutinitas
hidup. Etos kerja masyarakat sangat tinggi dan kesadaran akan pendidikan cukup
baik. Itulah juga yang membuatku tetap yakin bahwa aku mampu bertahan hingga
setahun kedepan untuk mengajar sebagai guru bantu di SD desa tempatku tinggal ini,
walau setiap harinya harus berkelahi dengan dingin.
Aku ingat,
ketika masa transisi di ibukota kabupaten Muara Enim beberapa pekan lalu, setiap
kali berkenalan dan berjumpa dengan masyarakat di kota Muara Enim, mereka bertanya.
Dimana daerah penempatmu, nak? Lalu kujawab Sumende, sontak mereka langsung
berkata, Haaa.. Semende.! Lalu, ketika mereka bertanya lagi desanya apa? Lantas
kujawab, “Desa Danau Gerak”. Haa..., Danau Gerak..! Pacak lah tu. Dengan logat bahasa daerahnya, begitu rata-rata
ekspresi mereka setiap kali mendengar kata desa Danau Gerak itu. Entahlah, sebenarnya
akupun tak paham. Ekspresi wajah mereka rata-rata tidak jelas, aku bingung
menafsirkan ekspresi apakah itu, apakah pertanda baik atau sebaliknya?.
Kini setelah
seminggu di desa ini, aku mulai mengerti apa makna ekspresi wajah orang-orang
itu. Rupanya desa ini adalah desa dengan ketinggian 2500 kaki diatas permukaan
laut dan sekaligus merupakan dataran pemukiman tertinggi di daerah Sumatra
Selatan. Secara otomatis suhu kedinginan didesa ini adalah yang paling “menggila”
di provinsi ini. Seminggu sudah aku tinggal tinggal di desa ini, namun baru
tiga kali berani menyiramkan air kesekujur tubuhku (mandi). Haha..
Bagi
masyarakat sini, tidak mandi di pagi hari bukanlah sebuah momok, sehingga tidak
heran jika orang-orang ke ladang atau anak-anak yang berangkat kesekolah tidak
melakukan ritual mandi terlebih dahulu. Karena suhu kedinginan air dipagi hari
benar-benar terlewat dingin. Lebih-lebih jika hendak berwudhu melaksanakan
solat subuh, tantangannya tidak hanya sekedar membasuhi kulit, tapi berwudhu
disubuh hari, itu sama artinya dengan kita bersedia membasuh tulang belulang.
Aku membayangkan, betapa besarnya pahala orang-orang yang melaksanakan solat
subuh di desa ini, lantaran tidak hanya berjuang menahan kantuk, tapi juga
menahan dingin yang tidak terdidik itu.
Dipagi
hari, mampu beranjak dari selimut – terutama bagi orang-orang baru sepertiku
ini - adalah prestasi yang gemilang, dan semua masyarakat disini kuyakin juga
mengamini itu. Kalau saja tidak untuk memenuhi nafkah sehari-hari, mereka
mungkin lebih memilih memanjangkan tidurnya dibawah selimut-selimut tebal.
Begitupula aku, kalau saja tidak mengajar, aku rasanya akan betah untuk tidur
seharian, asal dikemuli 3 lapis selimut wol tebal lengkap dengan kaos kaki,
sarung tangan dan topi kupluk penangkis dingin. Tapi untunglah aku disini diutus
sebagai Pengajar Muda, rasanya malu untuk berlama-lama dikasur ketika pagi
hari. Maka untuk memalingkan rasa dingin itu, beragam kegiatan kulakuakan,
mulai dari berolahraga, berkemas-kemas hingga mendekatkan sekujur badan pada
tungku api yang saban pagi dinyalakan
Ibu untuk menjerang air.
Maka bersyukurlah
kalian yang berada di kota, tak perlu bersusah payah berjuang menahan jahatnya
dingin. Sedangkan disini, walau dingin menyengat mereka harus tetap bangun
pagi, berkemas, memasak kemudian melangkah ke ladang agar priuk-priuk di dapur
tetap “bergendang”. Bersukurlah kalian karena ketika hendak ke kantor, ke kampus,
ke sekolah dengan keadaan badan telah terjirus air dengan suhu yang cukup manusiawi.
Disini, anak-anak harus tetap berangkat sekolah walau dengan keadaan tiadak
mandi (entah apa rasanya), bukan karena mereka tak mau mandi, tapi karena tak
kuatnya daya tahan tubuh menahan sengatan dingin yang membinasakan ini. Disini,
aku belajar betapa berharganya kehangatan.
Tuhan, ajari
aku mencintai dingin.
1 komentar:
bru klau mau ujian atau ada acara perpisahan bru mandi pagi,
oh tdak lupa klau sholat hri raya... wk wk wkwk...
Posting Komentar