Pagi itu, hujan. Hujan yang panjang sehingga tak menyisakan jeda
sedikit pun sejak tadi malam. Hingga saat itu sudah menunjukkan pukul
07.00 pagi. Ada sedikit rasa penasaran menyelinap, lalu aku pun
mengintip dari jendela kamar untuk memastikan seberapa laju jatuh curah
hujan. Namun yang kudapati berbeda, justru aku menemukan anak-anakku
sedang berlarian menuju Sekolah. Ada yang berpayungkan kain, daun
pisang, kresek seadanya dan adapula yang tanpa berpayung sama sekali.
Anak-anak itu terus saja berlari-lari walau hujan, walau jalanan itu
licin seakan mereka sudah tak kenal dengan sesuatu yang bernama bahaya
atau sakit. Melihat itu, aku hanya tergumam diam, speechless.!
Si Guru yang mengintip ini tadi —yang tadinya berniat ingin sedikit
terlambat datang ke Sekolah lantaran hujan— langsung bergegas menggosok
gigi, menyiram kepala seadanya (sebagai pengganti mandi dikala hujan)
lalu berpakaian dan bergegas menuju Sekolah. Dalam benak si Guru, “kamu punya payung, Pak.! Sehingga alasanmu
untuk datang terlambat ke Sekolah rasanya kurang bisa diterima. Tidak
kah kamu melihat anak-anakmu berlarian ke Sekolah sejak tadi tanpa
berpayung sekalipun?”.
Setiba di Sekolah, mataku menerawang ke seluruh penjuru Sekolah,
kulihat belum ada seorang guru pun yang datang. Namun semangat dan
aktivitas anak-anak tak berkurang sedikit persen pun. Ada yang sedang
piket membersihkan tempias air hujan di teras kelasnya (walau mereka tau
air itu juga tak akan kering karena sebenarnya atap teras itu bocor),
ada yang duduk sambil mendekapi badannya di beberapa pojokan dinding
Sekolah, ada juga yang membuat perapian kecil-kecilan sambil mendekatkan
badannya di perapian itu (barangkali bermaksud mengusir dingin, hehe..)
dan yang paling membuat hatiku geli, sebagian dari mereka kalau hari
hujan begini selalu membawa kain ke Sekolahnya.
Kain itu multifungsi, fungsi pertama sebagai payung yang mereka gunakan
sebagai pelindung badan dari hujan (agak aneh memang, bukankah kain
menyerap ari ya? He..). Lalu fungsi selanjutnya adalah menjadi kemul
penangkal dingin. Fungsi yang kedua ini agak lucu, karena kemul kain itu
divariasai menjadi seperti ‘ninja-ninjaan’. Maka tidak heran banyak
ninja ‘jadi-jadian’ di Sekolah ini dikala hujan tiba. Awalnya aku agak
meresa aneh dengan kondisi itu, karena seumur hidup belum pernah aku
menjumpai sekolah dengan murid yang membawa kemul (kain selimut) ke
Sekolah. Tapi kini aku hanya tersenyum, dikala melihat anak-anakku
dengan ragam kreativitas seperti itu.
****
Kulirik jam tangan sudah menunjukkan pukul 08.30. Saat itu curah hujan
masih saja mengalir walau hanya dengan irama gerimis. Kini hanya aku dan
seorang guru lain yang datang, Pak Zainal —Guru agama yang juga tinggal
di kampung ini—. Aku dan Pak Zainal sudah sama-sama mengerti. Kalau
hujan begini kami tak berharap banyak, biasanya guru-guru banyak yang
tak datang, kalaupun ada paling tak lebih dari 2 orang (maksdunya aku
dan dia, hehe.). Itu artinya, dalam kondisi seperti ini, kami harus
siap-siap mengeluarkan jurus "one for three" atau mengajar rapel ‘satu guru untuk mengajar tiga kelas’.
Oia, sebelum melanjutkan cerita ini, aku ingin sedikit berbagi masih tentang jurus “one for three”, tadi. Alhamdulillah sebagai
Guru bantu yang baru memasuki bulan ke tiga bertugas disni, aku sudah
beberapa kali mencicipi mengajar seorang diri, ya, sendiri ri.! Itu
artinya 1 guru untuk 6 kelas dengan jumlah murid kurang lebih 170-an
murid. Dengan demikian, bukan hanya jurus “one for three” tadi yang ku kuasai, disini, aku juga semakin terampil menggunakan jurus “one for six” mengajar seorang diri dari kelas 1 samapi kelas 6.
Jika ditanya apa rasanya, aku juga tidak tahu. Dalam kondisi seperti
itu, Mauku pokoknya mereka belajar, entah apa dan bagaimanapun caranya.
Sungguh, tiada bermaksud meng-heroik-kan diri dalam catatan
ini. Aku sebenarnya hanya ingin kalian tahu, bahwa di Negri ini —pada
belahan buminya yang lain— masih banyak cerita-cerita tentang ‘Sekolah
tanpa Guru’ atau juga sebaliknya ‘Guru tanpa Sekolah’. Kalian suka atau
tidak, tapi inilah potret kenyataan pendidikan kita, yang sama-sama
harus kita "telan".
****
Lanjut pada cerita di hari hujan tadi. Pendek kata, kami memutuskan
untuk membagi tugas. Kemudian dapatlah aku jatah mengajar kelas 4, 5 dan
6. Sedangkan Pak Zainal mengajar kelas 1, 2 dan 3. Dengan mengajar
model rapel begini, jangan berharap bisa menjalankan RPP atau rencana
pembelajaran ideal lainnya. Anak-anak mau diam dan mengerjakan tugas
saja, itu sudah merupakan sebuah kesyukuran yang amat. Maka fokusku yang
penting pelajaran berjalan dan pelajaran yang kuberikan pun yang
umum-umum saja.
Setelah masuk ke kelas 4 beberapa menit, tibalah aku masuk kelas 5 dan
jadual pelajaran kelas 5 pada pagi itu adalah IPS. Kuputuskan untuk
memberikan pertanyaan-pertanyaan umum tentang wawasan kenegaraan.
Diantaranya tentang nama Presiden, Ibu kota Negara, tanggal kemerdekaan
dan lain-lain. Sengaja pertanyaan tentang Presiden kuletakkan pada nomer
urut pertama dengan bunyi seperti ini:
“Siapa nama Presiden Republik Indoensia saat ini?”
Selesai menuliskan soal-soal di papan tulis, aku pun bersiap-siap bergerak menuju ke kelas 6, lalu berteriak ;
“Ayo anak-anak, semuanya mengerjakan. Nanti sebelum istirahat
tugasnya di kumpulkan di kantor, yah.! Jangan ada yang ribut, Bapak mau
masuk ke kelas 6 dulu”. Teriakku sambil menghayunkan kaki keluar kelas.
Istirahat pun tiba, sampai di kantor aku mengambil tugas anak-anak
kelas 5 tadi. Lembar demi lembar kubuka, jawaban per jawaban
perlahan-lahan kuteliti. Aku pun mulai mengkerutkan dahi, lantaran
rata-rata jawaban untuk soal nomor 1 di atas tadi adalah nama Presiden
Indonesia yang tak pernah kukenal. “Alex Noordin” rata-rata jawaban mereka, Ya, Alex Noodin yang setauku Gubernur provinsi Sumatra Selatan itu. Sejenak aku merenung.
Ada rasa sedih menyelinap. Sedih lantaran sudah 5 tahun anak-anak ini
belajar di Sekolah ini namun mereka rupanya tak kenal dengan kepala
Negarnya sendiri?. Lalu pertanyaanya, mengapa Alex Noodin lebih dikenal
daripada nama Presidennya?. Ya, jelas saja, karena sepengamatanku,
disini nama dan foto-foto si Gubernur itu dapat dijumpai dimana-mana dan
lebih sering mereka lihat di baju-baju kampanye si Gubernur, yang saban
hari dipakai oleh bapak-ibunya.
Ahh, dalam benakku, anak-anak ini tidak salah. Anak-anak ini
hanya korban keterbatasan dan juga barangkali sering diserangi oleh
guru-gurunya dengan jurus "one for three" atau bahkan "one for six", tadi. Haha..
****
Hujan masih saja setia membasahi tanah Semende ini. Namun sekolah sudah
sepi, aku pun pulang dengan segenap hati yang bergelombang. Sambil
berjalan, perlahan sambil kunyanyikan lagu Indonesia Raya, "Hiduplah tanahku, Hiduplah Negriku...!"
Sungguh, yang demikian terlampau haru.. .
September, 2013
Negri Kecilku, Semende :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar