Kamis, 23 Juni 2016

Jadi Presiden itu Mahal, Pak.! (Sebuah Catatan Menjelang Hari Kemerdekaan)

Jum’at 23 Juni 2013 lalu, saat itu sudah menunjukkan pukul 07.30 pagi. Itu hari pertamaku berangkat ke sekolah tempatku mengabdi ini. Seperti biasa, udara dingin khas perbukitan Semende masih terasa begitu menggigit. Setelah menapaki 5 menit jalan pematang sawah menuju sekolah, langkahku tertahan di depan gerbang sekolah, lantaran gerbang dengan lebar kurang lebih 2 meteran itu masih tergembok. Sejak tadi kulihat hanya ada 6 anak yang sudah menunggu di depan gerbang, 4 laki-laki dan 2 murid perempuan. Mereka sambil bermain air di parit-parit kecil depan sekolah yang tiada pernah lelah mengalir itu.

Dalam benakku ―karena aku orang baru bagi mereka― aku ingin sekali meraup kesan pertama yang memukau bagi anak-anakku ini. Aku juga termasuk yang meyakini mazhab“first impression determine your image”, hem. Sambil kusajikan senyum terindahku, kudekati mereka satu-persatu, kusapa mereka, “hai”, sapaku ringan. Ternyata bermacam-macam respon mereka, ada yang malu-malu hingga membalikkan badan lalu pura-pura berlari kecil sambil menyimpul senyum, ada pula yang diam saja. Namun untungnya ada salah satu dari mereka yang menyambut sapaan pertamaku di pagi itu, walalu dengan nada seadanya ia membalas juga “hai”, katanya sambil melambaikan tanganya. Itulah si Arnoldi, bocah yang kulihat mirip sekali dengan bule’ keturunan Belanda.

Mereka Menyebutnya “Sekulah”

Tulisanku kali ini masih seputar kebingungan berbahasa. Kalian tahu “Sekulah”?, ya, Sekolah maksudnya. Tapi sayangnya anak-anakku disini tak kenal dengan yang namanya Sekolah, mereka hanya tahu “Sekulah” sebagai rumah mereka belajar jika pagi hari tiba. Ketika awal-awal aku disini, pernah beberapa kali aku keceplosan menyebut kata Sekolah di hadapan mereka, tarnyata mereka butuh waktu untuk memahami kata itu, bahkan tak sedikit yang kebingungan, persis seperti orang awam yang baru mendengar istilah-istilah ilmiah pada acara seminar promosi doktoral, di kampus-kampus. Hehe..

Bagiku, sebenarnya kata itu tidak asing. Aku teringat betul bagaimana fasihnya sosok Bu’ Muslimah pemeran guru perempuan nan anggun dalam filem Laskar Pelangi itu yang menyebutkan kata “Sekulah” berulang kali dalam beberapa dialognya. Hanya saja setelah disini, aku benar-benar merasa fasih dalam menyebutkan kata itu, fasih betul, sefasih Bu’ Muslimah. “Nak ke Sekulah[1] kataku, ketika aku ditanya orang-orang kemana aku hendak pergi saban pagi.

Maafkan Bahasa Planet Bapak Ini, Nak.!

Sudah 2 bulan aku tinggal disini. Ya disini, di desa tempat pengabdianku yang perlahan-lahan mulai kucintai ini. Namun sayangnya belum lagi aku menjadi pengguna bahasa yang baik. Baik dalam kapasitasku sebagai masyarakat maupun sebagai guru bantu di sekolah tempatku mengajar. Dalam beberapa kali pertemuanku kepada murid-murid di ruang kelas misalnya, aku masih saja sering menyeletup di hadapan anak-anakku dengan menggunakan bahasa yang tak mereka mengerti. Seringkali penjelasanku hanya disambut dengan “kerutan dahi”. Inilah yang terkadang membuatku merasa gagal untuk sekedar menjadi guru yang baik bagi mereka.

Pada bulan Ramadhan yang lalu, sekolahku mengadakan program pesantren kilat selama sepekan. Dimana pada acara ini semua mata pelajaran adalah pelajaran agama. Ketika diberikan kesempatan memberikan mata pelajaran, aku berkali-kali menggunakan bahasa ilmiah ketika bermaksud menjelaskan tentang syurga dan neraka. Kata deskripsi lah, abstrak lah, orientasi lah yang semua itu kuucapkan lantang beberapa kali di hadapan anak-anak 2 SD yang masih ingusan itu. Hufh.! Barangkali kalau mereka pandai ngomong layaknya orang Inggris, begini mungkin jeritan mereka “Hello Sir. this is not university classroom, please.!”.

Sebuah Catatan Haru di Hari Hujan

Pagi itu, hujan. Hujan yang panjang sehingga tak menyisakan jeda sedikit pun sejak tadi malam. Hingga saat itu sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Ada sedikit rasa penasaran menyelinap, lalu aku pun mengintip dari jendela kamar untuk memastikan seberapa laju jatuh curah hujan. Namun yang kudapati berbeda, justru aku menemukan anak-anakku sedang berlarian menuju Sekolah. Ada yang berpayungkan kain, daun pisang, kresek seadanya dan adapula yang tanpa berpayung sama sekali. Anak-anak itu terus saja berlari-lari walau hujan, walau jalanan itu licin seakan mereka sudah tak kenal dengan sesuatu yang bernama bahaya atau sakit. Melihat itu, aku hanya tergumam diam, speechless.! 

Si Guru yang mengintip ini tadi ­—yang tadinya berniat ingin sedikit terlambat datang ke Sekolah lantaran hujan— langsung bergegas menggosok gigi, menyiram kepala seadanya (sebagai pengganti mandi dikala hujan) lalu berpakaian dan bergegas menuju Sekolah. Dalam benak si Guru, “kamu punya payung, Pak.! Sehingga alasanmu untuk datang terlambat ke Sekolah rasanya kurang bisa diterima. Tidak kah kamu melihat anak-anakmu berlarian ke Sekolah sejak tadi tanpa berpayung sekalipun?”.