Kamis, 07 Januari 2010

Sebuah Catatan Buat Gus Dur


Astaga, Gus Dur Jadi Presiden


Pernahkan anda membayangkan, jika sebuah bangsa besar dipimpin oleh seseorang yang memiliki beberapa sudut keterbatasan, namun mampu menjalankan roda kepemerintahan walaupun kondisi bangsa tersebut tengah dirundung malapetaka? Jika anda pernah berfikir seperti itu, maka bangsa kita benar-benar telah membuktikan akan hal itu semua. Oktober 1999, adalah moment yang tampaknya tak bisa dilupakan begitusaja oleh bangsa kita, lantaran Indonesia telah terlanjur memilih sesosok revolusioner baru, datang dengan penuh warna keistimewaan dan dilengkapi dengan segenap keterbatasannya. Dialah Abdurrahman Wahid atau yang lebih sering kita sapa dengan sebutan Gus Dur, pada hari Rabu 12 Oktober 2008 ia benar-benar telah menorehkan sejarah baru bagi bangsa, ketika rivalnya Megawati Sukarno putri terpaksa harus mengakui kredibilitas Gus Dur dimata sebagian wakil rakyat dalam hitungan perolehan suara 60 suara lebih banyak, yang pada kenyataan angka statistik inilah sekaligus mengantarkannya untuk duduk dikursi presiden keempat dari sejarah keperintahan republik Indonesia. 
Dua hari kemudian, sampul depan majalah The Economist memuat potretnya disampul judul dengan huruf tebal warna kuning berbunyi; “Astaga, Gus Dur yang terpilih: presiden baru Indonesia yang mengejutkan.”[1] 


Siapa Gus Dur ?
Gus Dur, siapa yang tak kenal Gus Dur, bagi bangsa, melupakan Gus Dur sama halnya dengan mengigkari sejarah, pria berkacamata kelahiran 7 september[2] 1940 (4 Sya’ban) Denanyar, Jombang, Jawa Timur ini, mempunyai peran penting dalam panggung perpolitikan bangsa, mulai tahun 80an hingga kini, namanya mulai membahana tidak hanya diparaf Nasional bahkan di jajaran Internasionalpun namanya juga cukup sering berkumandang, hingga tak heran penulis biografi terkenal asal Australia Greg Barton menuangkan secara jelas dan terperinci tentang biografi tokoh yang satu ini, yang berhasil ia tuangkan dalam bukunya Biografi Gus Dur ”The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid” .
Abdurrahman Wahid namanya, atas Gus Dur sama saja, bahkan mungkin ia lebih dikenal dengan nama singkat Gus Dur, ”Gus” sapaan ini biasanya diperuntukkan oleh anak lelaki dari keturunana kiai khususnya dari kalangan Nahdiyyin, sedangkan ”Dur”, adalah singkatan Abdurrahman. Nama ini mengadopsi dari nama ayahnya sesuai dengan kebiasaan Arab, Abdurrahman putra ”Hasyim” anak pertama dari Kiai Wahid Hasyim yang hingga kini memang telah dinobatkan sebagai pahlawan nasional.
Sebagai tokoh yang lahir dan besar dari rahim pesantren, tentunya ia sangat menjunjung nilai-nilai religiusitas, salah satu organisasi besar Islam (NU) Nahdhatul Ulama’[3] seakan telah menjadi bagian dari hidupnya, ya, wajar saja jika demikian adanya, karena kakek dari pihak Ayahnya Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Jombang pada bulan Ferbruari 1871, merupakan salah satu founding father dari organisasi terkemukan dikalangan Islam Indonesia tersebut. Sejak didirikannya Nahdhatul Ulama’ pada tahun 1926 yang berpusat di kota Jombang, Jawa timur ini, sebagian besar pesantren menjadi jaringan longgar NU, baik di pulau jawa maupun di berbagai daerah di luar jawa. Karena Kakeknya Kiai Bisri Syanusi (dari pihak Ibu) dan Kiai Hasyim Asy’ari sangat dihormati dikalangan NU, baik karena perannya mereka dalam mendirikan NU maupun posisi mereka sebagi Ulama senagai ulama. Terlebih lagi Ayahnya Kiai Wahid Hasyim, yang pernah menjadi mentri agama pada era pemerintahan Sukarno yang juga waktu itu sempat memimpin perjuangan revolusioner melawan penjajahan Belanda setelah akhir Perang Dunia II. Oleh karenaya kedua orang ini secara resmi dijadikan sebagai Pahlawan Nasional. Nama mereka sebagaimana nama pahlawan-pahlawan nasional lainnya, diabadikan sebagai nama-nama jalan di Jakarta pusat[4].
Mau tidak mau sebagaimana ia yang dilahirkan pada tahun 1945 kebawah tentunya sedikit banyak juga merasakan hawa panasya perperangan dalam rangka merebut kemerdekaan saat itu, apalagi ayahnya Wahid Hasyim memenag merupakan kiai sekaligus pahlawan yang ikut andil pada masa perubutan kemerdekaan. Maka tak heran, akhir tahun 1944 masa kecilnya memeang sudah sering bertemu dengan orang-orang besar karena pada umur empat tahun ia diajak ayahnya hijrah meninggalakan kota Jombang menuju Jakarta didaerah Menteng Jakarta Pusat ayahnya yang ketika itu memeang sudah terlibat sebagai kiai dan tokoh nasionalis terkemuka, Namun pada masa Revolusi, setelah Jepang menyerah ayah dan anak ini kembali Jombang.  
Mugkin bagi kebanyakan orang Indonesia saat itu, masa Revolusi antara tahun 1945-1949 adalah masa transisi yang penuh dengan beban penderitaan, namun, tidak begitu dengan Gus Dur, ya, kerena ia masih terlalu mudah dan belum cukup mengerti tentang hal-hal yang berbau konflik yang mengecam negri pada saat itu. Ayahnya Wahid Hasyim yang pada saat itu sebagai kiai nasionalis memang menjadi incaran Belanda, hingga pada bulan Maret 1948 ayahnya sering tidak berada di rumah lantaran sibuk dengan kegiatan perjuangan, dan akhirnya setelah Belanda menandatangani perdamaian, akhirnya ayahya sebagaimana perannya terlibat dalam kepemerintahan yang baru maka Gus Dur beserta keluarganya kembali ke Jakarta dan pada saat itu pula ayahnya menduduki jabatan dalam lima kabinet sebagai mentri Agama.

Perjalanan Pendidikan Gus Dur
Dalam keluarga, Gus Dur memang mejadi harapan utama oleh keluarganya setelah ayahnya meninggal pada bulan April 1953, terutama Ibunya Solichah, baginya Gus Dur adaah harapan satu-satunya sebagaimana menurut kebiasaan Islam tradisional, putra tertua diharapkan bias mengikuti jejak sang ayah, walaupun Gus Dur dikenal sering bergurau dan bukan seorang yang penurut, namun ia selalu menghormati ibunya, Ia selalau menurui kata-kata sang ibu. Pada masa ia mengemban pendidikan di sekolah dasar 1953 ia belum terlihat sebagai siswa yang cemerlang, tahun 1954 ia masuk memulai di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), ia terpaksa mengulang kelas satu karena gagal dalam dalam ujian.[5] Hal ini tak lepas karena hobinya menonton pertandingan sepak bola dan masih tergiang di benaknya tentang kepergian sang ayah.
Karena hal tersebut, ia dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di SMP, dikota ini, ia berdiam dirumah salah seorang teman ayahnya, kiai Junaidi. Untuk melegkapi pendidikan Gus Dur maka ditaruhlah agar ia dapat pergi kePerantren Al-Munawwir di Karpyak tiga kali seminggu, disini Ia belajar bahsa Arab kepada KH. Ali AM’shum,[6] setelah lah menyelesaikan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama di Yogyakarta pada tahun 1957, Gus Dur mulai menggeluti dan menambah wawasannya baik dipesantren maupun di kota Yogyakarta yang mendapat gelah kota Pelajar pada tahun 1950-an, memang sebelumya Gus Dur telah menguasai beberapa bahasa seperti bahsa Ingris, Prancis, Belanda hal ini ia dapatkan ketika bermukim di Jakarta.    Setelah menyelesaikann Sekolah Menengah Ekomoni, Gus Dur sempat nyantri di Tegal Rejo, dibawah asuhan Kiai Khudori ini selam 2 tahun, pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke Jombang untuk belajar secara penuh di Pesantren Tambakberas dibawah bimbingan Kiai Wahab Chasbulla.  Ia belajar disini hingga tahun 1963.
Singkat cerita pada tahun 1963-an ia berangkat ke kairo demi meneruskan studinaya ke jenjang yang lebih tinggi di Universitas tertua di dunia Al-Azhar Kairo. Menurut Gus Dur pada awal-awal ia datang ke Universitas ini Ia diberi tahu oleh pejabat-pejabat Universitas itu bahwa dirinya harus mengikuti kelas khusus untuk memperbaiki pengetahuan mengenai bahasa Arabnya, hal inilah yang membuatnya resah karena program tersebut benar-benar diperunukkan bagi nmereka yang baru-baru mengetahui bahsa Arab mulai dari dasar, sedangkan ia merasa bahwa apa yang akan materi dari itu semua telah ia pelajariketika menimba olmu dahulu sewaktu di Indonesia. Pada sepanjang tahu 1964 ia hampir tidak pernah mengikuti kelas pemula itu, bahkan ia hanya hadir ketika ujian saja. waktunya banyak ia habiskan dengan menyalurkan hobinya mengikuti pertandingan sepak bola, mengunjungi perpustakaan-perpustakaan besar, menonton filem-filem prancis dan ikut serta dalam diskusi-diskusi di kedai-kedai yang sangat menarik. Hal ini ia lakukan hingga masa perkuliahannya telah belanjut. Jika Al-Azhar merupakan merupakan kekecewaan bagi Gus Dur namun Kairo sebaliknya merupakan Syurga baginya.
Selama menumpuh perkuliahan di sana, selain sibik dengan menikmati hobi-hobinya yang terkesan melalaikan tersebut, namun prestasinya dalam bidang akademik juga sangat membanggakan. Disana ia juga sempat menjadi ketua himpunan mahasiswa Indonesia di Kairo, bahkan karena kepawaiannya dalam berbahasa Arab, ia bekerja di Kedutaan Besar, tugasnya menterjemhankan berita-berita dari Indonesia yang pada saat itu sedang mengalami konflis G-30 S PKI. Tulisan-tulisannya sering dimuat di beberapa media di Kairo maupun yang ia kirimkan ke Indonesia. Inilah salah satu bentuk apresiasinya dalam memikirkan nasib bangsanya.

Gus Dur yang Misterius
Dalam banyak kesan, Gus Dur mungkin bisa digambarkan dengan kata-kata yang singkat saja: kompleks dan nyeleneh. Oleh karena itu, pribadi Gus Dur cenderung untuk sulit dipahami, terutama dalam satu sudut tafir atau dua kata itu, tergantung siapa yang melihat dan memahami. Bahkan pada saat ia menjabat sbagai presiden RI sempat muncul anekdot tentang tiga misteri Tuhan: bahwa tiga dari miusteri Tuhan yang tidak dapat dipahami atau diketahui manusia sebelum hal itu terjadi, yakni jodoh, kematian, dan Gus Dur. Bagi orang awam dan para pengikutnya bahkan bagi ilmuan yang intelek sekalipun, Gus Dur seringkali dilihat sebagai pribadi yang misterius, tak terduga, dan weruh sak dunge winarah (bisa mengetahui sesuatu sebelum sesutu itu terjadi)- sebuah kata-kata Jawa yang memiliki makna yang sangat dalam, sarat dengan hikmah dan misteri.[7]
hingga kinipun, kepribadiannya masih sukar ditebak, dan masih menimbulkkan banyak pertanyaan oleh beberapa kalangan, sebenarnya seperti apa dan bagaimana alur kepemikiran Gus Dur? Dikacamata umum Gus Dur dinilai sebagi manusia yang berkpribadian super kompleks, mistirius dalam bertutur, nyeleneh dalam bersikap kadang kala ngawur dalam betindak. Warna inilah membuat Gus Dur pada perbedaan yang jauh dari yang lainnya sekaligus hal ini pulalah yang mengantarkannya pada taraf popularitas yang puncak. Mungkin hukum Kholif Tu’rof[8] berlaku pada Gus kita yang satu ini.

Epilog
          Apapun perjalanan yang telah Gus Dur lakukan semuanya sarat dengan hikmah dan mauidzah yang harus segera kita petik. Wallahua’alam bissowab. 



[1] Greg Barton, Biografi Gus Dur ”The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid”, ELKiS, Yogyakarta, hal.2
[2] Walaupun ada sebagian yang berselisih pendapat mengenai penaggalan kelahiran Gus Dur, dalam buku biografi Gus Dur karangan Greg Barton disebutkan rincian kelahirannya dan juga lima saudaranya dicatat dalam buku doa keluarga yang hilang pada tahun 1960-an, sedangkan catatan resminya tidak ada lagi.
[3] Nahdhatul Ulama’, Organisasi Islam terkuat di Indonesia yang artinya ”Kebangkitan Para Ulama”.
[4] Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid”, hal 26
[5] Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid”, ELKiS, Yogyakarta, hal.2

[6] Ibid, hal 51
[7] Ibid, hal.III
[8] Istilah Arab, kholif tu’rof, berbeda maka dikenal

1 komentar:

Anonim mengatakan...

wow.... bgus tulisannya...