Dari Gontor, Untuk Indonesia.!
Oleh: Hidayatul Mabrur*
Penulis : Tasirun Sulaiman
Terbit : September 2009
Penerbit : Mizania
ISBN : 978-979-
Ukuran : Cover: SC
Delapan tahun yang lalu, saya sempat menempuh pendidikan selama satu caturwulan (sekarang smester) di SLTP N 18 Pontianak. Ketika teman-teman sibuk hendak menghadapi masa-masa ujian di kelas satu pada caturwulan pertama, saya justru sibuk berpamitan kepada segenap teman-teman sekelas saya dan beberapa guru-guru yang kenali waktu itu, lantaran saya harus mengikuti anjuran orang tua untuk mengikuti kakak tertua saya yang ketika itu sedang menempuh gelar Sarjana Strata 1 disalah satu perguruan tinggi Negri di kota Yogyakarta.
Buku Wisdom of Gontor yang dikarang oleh Tasirun Sulaiman ini, tampaknya semakin memperkuat bahwa adanya Pondok Pesantren Modern Gontor memang bukan sekedar institusi pendidikan Islam yang hanya layak diketahui oleh beberapa lapisan masyarakat saja, namun jauh daripada itu, Gontor sebenarnya adalah milik kita semua yang hikmah dan ajarannya boleh kita panen secara bersama-sama. “Gontor diatas dan untuk semua golongan” begitulah salah satu bunyi moto dari pondok modern Gontor yang terletak di kota Ponorogo Jawa Timur ini.
Secara keseluruhan buku ini berbicara tentang Moto dan Panca jiwa Pondok Gontor yang telah menjadi ruh bagi Gontor itu sendiri. Yang menjadi indah dalam buku ini ketika Moto dan Panca Jiwa tersebut tidak dijabarkan secara tekstual, seperti layaknya teks pancasila, moto-moto, dan visi misi dikebanyakan institusi pada umunya, namun Tasirun Sulaiman berhasil mengemasnya dengan uraian yang sederhana yang setiap judulnya sarat dengan hikmah dan makna, menggugah, namun jauh dari menggurui, begitulah kata Dr. Husnan Bey Fananie, cucu almarhum KH. Zaenuddin Fananie pendiri Gontor, yang juga turut berkomentar pada cover belakang buku ini.
Kemudian, didalam buku wisdom of Gontor ini, terdapat 25 judul yang hampir setiap awal judulnya pembaca disuguhkan dengan moto dan kata-kata bijak yang mayoritas diambil dari perkataan trimurti para pendiri Gontor yaitu KH. Imam Zarkasyi, KH. Ahmad Sahal, dan KH. Zaenuddin Fananie. Ada salah satu kutipan yang penulis rasa penting untuk dicantumkan dalam resensi ini, adalah perkataan dari KH. Hasan Abdullah Sahal sebagi berikut, “Telah kusadari bahwa orang baik yang bertempat dipembuangan sampah sekalipun akan berjasa mulia karena ia telah menyingkirkan sampah yang menganggu masyarakat. Nanun sebaliknya, orang yang jahat sekalipun bertahkta ditempat terhormat, ia adalah perusak dan pengacau masyarakat karen ia sebetulnya adalah sampah”. Kutipan tersebut tak berlebihan jika peresensi katakana menjadi inspirasi tersendir bagi KH. Hasan Abdullah Sahal sebagai sosok kiyai yang selama ini dianggap berhasil dalam melahirkan generasi muda yang berkualitas melalui Gontor.
Menurut peresensi, hampir semua esensi moto dan paca jiwa pondok modern Gontor dapat terjabarkan dengan baik dalam buku ini, sperti judul keikhlasan, kesederhanaan, kebebasan dll. Hanya saja sayangnya, mengapa seakan-akan jika membaca buku ini unsur kesempurnaan terhadap Gontor terlalu tampak dan begitu menyala, seakan-akan Gontor merupakan sebuah institusi yang diibaratkan sebagai gading yang tak ada retaknya, padahal sesuatu karya yang baik sepatutnya diimbagi dengan sisi kirinya pula, agar nilai objektivitas lebih terjaga dan selaras sehingga tidak terasa “kempang”. Sama halnya jika kita mengulas kembali sosok Fahri dalam novel Ayat-Ayat Cinta, yang hampir didalamnya tidak kita temukan sisi negatif dari prilaku si Fahri tersebut. Hemat penulis, Ini juga kurang baik.!
Oleh: Hidayatul Mabrur*
Penulis : Tasirun Sulaiman
Terbit : September 2009
Penerbit : Mizania
ISBN : 978-979-
Ukuran : Cover: SC
Halaman : 232 hal
Delapan tahun yang lalu, saya sempat menempuh pendidikan selama satu caturwulan (sekarang smester) di SLTP N 18 Pontianak. Ketika teman-teman sibuk hendak menghadapi masa-masa ujian di kelas satu pada caturwulan pertama, saya justru sibuk berpamitan kepada segenap teman-teman sekelas saya dan beberapa guru-guru yang kenali waktu itu, lantaran saya harus mengikuti anjuran orang tua untuk mengikuti kakak tertua saya yang ketika itu sedang menempuh gelar Sarjana Strata 1 disalah satu perguruan tinggi Negri di kota Yogyakarta.
Setelah beberapa lama mengurus persyaratan administrasi diruang TU, bel istirahat pertamapun berbunyi saya langsung berlari mendatangi teman-teman sekelas saya agar tidak keluar dulu, dihadapan mereka saya katakan saya ingin pindah ke salah satu sekolah pesantren di jawa, dan hari ini saya mohon pamit dihadapan kalian semua, setelah menyampaikan sambutan yang pendek tadi, salah satu dari teman saya berteriak dengan nada yang cukup lantang, ia berkata "mau sekolah ke pesantren mana brur? ke pesantren Gontor yah?". saya terperanjat mendengar pertanyaan itu, lantaran yang saya herankan, mengapa kok siswa yang saya kenal cukup nakal itu begitu fasih dan hafal dengan sebuah institusi pendidikan Islam bernamakan Gontor itu, ironisnya lagi, siswa yang bertanya tadi menganut agama kristen katolik, Yoseph namanya, entah darimana ia tahu Gontor?
Buku Wisdom of Gontor yang dikarang oleh Tasirun Sulaiman ini, tampaknya semakin memperkuat bahwa adanya Pondok Pesantren Modern Gontor memang bukan sekedar institusi pendidikan Islam yang hanya layak diketahui oleh beberapa lapisan masyarakat saja, namun jauh daripada itu, Gontor sebenarnya adalah milik kita semua yang hikmah dan ajarannya boleh kita panen secara bersama-sama. “Gontor diatas dan untuk semua golongan” begitulah salah satu bunyi moto dari pondok modern Gontor yang terletak di kota Ponorogo Jawa Timur ini.
Secara keseluruhan buku ini berbicara tentang Moto dan Panca jiwa Pondok Gontor yang telah menjadi ruh bagi Gontor itu sendiri. Yang menjadi indah dalam buku ini ketika Moto dan Panca Jiwa tersebut tidak dijabarkan secara tekstual, seperti layaknya teks pancasila, moto-moto, dan visi misi dikebanyakan institusi pada umunya, namun Tasirun Sulaiman berhasil mengemasnya dengan uraian yang sederhana yang setiap judulnya sarat dengan hikmah dan makna, menggugah, namun jauh dari menggurui, begitulah kata Dr. Husnan Bey Fananie, cucu almarhum KH. Zaenuddin Fananie pendiri Gontor, yang juga turut berkomentar pada cover belakang buku ini.
Kemudian, didalam buku wisdom of Gontor ini, terdapat 25 judul yang hampir setiap awal judulnya pembaca disuguhkan dengan moto dan kata-kata bijak yang mayoritas diambil dari perkataan trimurti para pendiri Gontor yaitu KH. Imam Zarkasyi, KH. Ahmad Sahal, dan KH. Zaenuddin Fananie. Ada salah satu kutipan yang penulis rasa penting untuk dicantumkan dalam resensi ini, adalah perkataan dari KH. Hasan Abdullah Sahal sebagi berikut, “Telah kusadari bahwa orang baik yang bertempat dipembuangan sampah sekalipun akan berjasa mulia karena ia telah menyingkirkan sampah yang menganggu masyarakat. Nanun sebaliknya, orang yang jahat sekalipun bertahkta ditempat terhormat, ia adalah perusak dan pengacau masyarakat karen ia sebetulnya adalah sampah”. Kutipan tersebut tak berlebihan jika peresensi katakana menjadi inspirasi tersendir bagi KH. Hasan Abdullah Sahal sebagai sosok kiyai yang selama ini dianggap berhasil dalam melahirkan generasi muda yang berkualitas melalui Gontor.
Menurut peresensi, hampir semua esensi moto dan paca jiwa pondok modern Gontor dapat terjabarkan dengan baik dalam buku ini, sperti judul keikhlasan, kesederhanaan, kebebasan dll. Hanya saja sayangnya, mengapa seakan-akan jika membaca buku ini unsur kesempurnaan terhadap Gontor terlalu tampak dan begitu menyala, seakan-akan Gontor merupakan sebuah institusi yang diibaratkan sebagai gading yang tak ada retaknya, padahal sesuatu karya yang baik sepatutnya diimbagi dengan sisi kirinya pula, agar nilai objektivitas lebih terjaga dan selaras sehingga tidak terasa “kempang”. Sama halnya jika kita mengulas kembali sosok Fahri dalam novel Ayat-Ayat Cinta, yang hampir didalamnya tidak kita temukan sisi negatif dari prilaku si Fahri tersebut. Hemat penulis, Ini juga kurang baik.!
Terlepas dari itu semua, setelah membaca buku Wisdom of Gontor ini, penulispun menyimpulkannya dengan satu frasa singkat yaitu “Dari Gontor Untuk Indonesia”, artinya, banyak nilai-nilai sarat yang harus segera kita petik dati Gontor utuk kita semua, dan nilai-nilai tersebut dapat kita temukan dalam buku ini. Kalau anda tidak percaya,! Silahkan coba,! Selamat membaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar