Rabu, 18 Januari 2012

Come Forward, Youth.!

Hidayatul Mabrur 

Dalam beberapa tahun terakhir, isu ke-pemimpinan muda semakin senter terdengar dalam wacana kepemiminan di nasional. Mulai dari lingkup regional hingga ke perhelatan pemilu nasional wacana tersebut terus dianggap peting. Hal ini tampaknya baru dirasakan karena selama ini kita kian terjebak dalam stigma klasik, yang menyatakan bahwa seorang pemimpin itu harus “berumur”. Bahkan sebagian orang sepakat mengatakan bahwa sosok pemimpin yang ideal adalah mereka “kaum tua” yang sudah merasakan getirnya hidup. Benarkah? Ahh,, mitos, jika demikian, lantas yang menjadi pertanyaan apakah umur satu-satunya tendensi (tolak ukur) akan sebuah kualitas dan loyalitas? 


Memang kita harus mengakui, fakta perjalanan sejarah menunjukkan bahwa sejak awal sejarah kepemimpinan bangsa yang mengaku merdeka ini selalu dipimpin oleh “kaum tua”, terutama pada tampuk kepemimpinan tertinggi dalam tatanan legeslatif yaitu Presiden. Menarik tulisan yang penulis temukan dari web www.akupercaya.com yang mengungkapkan sebuah fakta bahwa presiden di negara ini ternyata dari waktu ke waktu tidak semakin muda, malah justru semakin tua. Republik Indonesia pertama kali dipimpin Presiden Soekarno yang berumur 44 tahun, begitupula dengan jenderal Soeharto juga naik menjadi presiden pada usia 46 tahun. Namun, setelah itu umur orang yang menjadi Presiden RI semakin tua. 

Bapak B.J. Habibie naik takhta menggantikan Pak Harto sebagai presiden pada usia 62 tahun. Artinya, lebih tua 18 tahun jika dibandingkan dengan Bung Karno dan 16 tahun lebih tua daripada Pak Harto ketika mulai duduk di kursi orang nomor satu Republik ini. Gus Dur yang juga ketika itu menjadi pemimpin berumur 59 tahun, yang kemudian digantikan Megawati Soekarnoputri yang berusia 54 tahun, umur yang juga lebih tua daripada umur Bung Karno dan Pak Harto ketika diangkat menjadi presiden. Dan pada pemilu 2004 merupakan pemilu pertama rakyat memilih langsung presiden. Hasilnya pun presiden yang umurnya lebih tua. Susilo Bambang Yudhoyono naik takhta pada usia 55 tahun. 

Haha, geli hati saya melihatnya. Ya, walaupun kurang etis rasanya jika kita memaknai pemimpin hanya dari kacamata pimpinan negara teratas saja (presiden). Namun paling tidak, prihal diatas layak untuk kita renungkan, karena suka atau tidak suka, itulah fakta yang telah terjadi pada dataran kepemimpinan tertinggi di negri yang kian menderita ini. Semoga ini tidak kita yakini sebagai kutukan nenek moyang, atau mitos berkelanjutan. Maka sudah seharusnya rakyat di negri ini berani untuk mengubah stigma klasik atau dalam bahasa saya “mitos lama” yang tampaknya sudah mendarah daging ini. Sudah saatnya pula para pemimpin di negri mengambil pelajaran dan tidak menjadikan perbedaan usia sebagai satu-satunya tolak ukur dari kualitas dan integritas seorang pemimpin. 

Maka dari itu, kaum muda datang sebagai solusi dalam permasalahan ini. Tentunya mereka yang juga mempunyai segudang pengalaman dan latar belakang pendidikan yang memadai. Bukankah jauh lebih baik seorang pemimpin yang tegar, gagah fisiknya, cemerlang pemikirannya serta menawan perangainya, daripada pemimpin yang walaupun memadai keilmuannya dan segudang pengalamannya, namun apalah daya jika fisik kurang berdaya. Dalam Islam, seorang Mukmin yang kuat itu jauh lebih dicintai daripada Mukmin yang lemah. Bahkan presiden pertama kita Ir. Sukarno juga pernah mengatakan “Berikan aku 5 pemuda, maka akan aku guncangkan dunia”. So, Lets Come Forward, Youth.!

1 komentar:

Yuniken Laily Dewi mengatakan...

Muda berkarya, nggak mesti 'mendunia', ya mas? hehe